Visitor Statistik

Sabtu, 20 November 2010

Kami korban! bukan tontonan!

(sumber gambar: mestimoco.com)

Pernahkah anda membaca poster seperti ini?

atau,..

Anda salah satu orang yang dimaksud dalam poster ini?

Wisata bencana, itulah kata - kata yang tepat untuk menggambarkan orang - orang yang datang ke daerah bencana untuk melihat - lihat saja, tanpa membantu para korban yang sejatinya sangat membutuhkan bantuan.
Saya sendiri adalah korban gempa jogja yang terjadi pada tahun 2006 yang telah menewaskan lebih dari 5000 jiwa. Rumah saya hancur, dan seperti banyak bangunan lainnya yang luluh lantah akibat kedahsyatan gempa berskala 5,9 SL berdurasi hampir 1 menit.

Tahukah anda? Para korban bencana sangat membenci wisata bencana! Mereka bukan objek tontonan, namun korban yang butuh pertolongan,..
Belum lagi dengan perilaku oknum - oknum yang sering memanfaatkan bencana sebagai ajang "promosi",.. tengok saja bendera - bendera partai yang berkibaran dimana - mana saat terjadi bencana.
Apa motif mereka? membantu atas dasar kemanusiaan?
atau,..
Sekedar mempromosikan partai dengan kedok membantu?

Yang sering membuat korban bencana jengkel adalah banyaknya spanduk - spanduk dan posko dari partai politik yang berdiri di pinggir jalan, namun tidak ada aktivitasnya,..
Posko ini kokoh berdiri dengan bendera partainya tanpa ada aktivitas nyata bantuan kepada para korban bencana. Jika adapun, bantuan yang diberikan juga tidak seberapa jika dibandingkan dengan besar dan banyaknya spanduk yang mereka pasang,..

Perilaku - perilaku semacam ini sungguh menyedihkan dan tidak pantas. Bangsa ini seolah - olah tidak memiliki etika dalam menyikapi bencana yang terjadi,..

Bencana bukan untuk ditonton!
Bencana bukan merupakan ajang promosi politik!
Bencana adalah musibah negeri,..

Sudah selayaknya kita menunjukkan empati dan usaha bersama sehingga dapat meringankan beban para korban yang mengalami bencana. Bisa dibayangkan jika politik sudah masuk dalam penanganan bencana,.. bukan bantuan yang diberikan, tapi lebih banyak promosi demi kepentingan politik. Jika calon - calon pemimpin saja sudah tidak beretika seperti ini,..

Bagaimana jadinya bangsa kita saat mereka terpilih menjadi pemimpin bangsa?

Kamis, 18 November 2010

Mayat Siapakah ini ???

Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta telah menelan banyak korban jiwa. Korban meninggal terutama disebabkan oleh ganasnya awan panas yang dapat merusak paru dan saluran nafas ketika terhirup serta membakar seluruh badan karena tingginya suhu yang mencapai 600 derajat.
Hingga saat ini, tidak sedikit mayat dengan keadaan luka bakar di seluruh tubuh yang telah ditemukan oleh Tim SAR. Mayat ditemukan dalam kondisi mengenaskan dengan luka bakar diseluruh tubuh sehingga sulit dikenali,..
Lantas, Bagaimana kita mengetahui identitas korban jiwa ini?

Dalam keadaan bencana, seperti pada kasus letusan gunung merapi ini, identifikasi mayat korban merupakan suatu proses penting untuk mengetahui siapa saja yang telah menjadi korban sehingga kemudian bisa dikembalikan kepada keluarganya untuk dimakamkan. Disaster Victim Identification atau biasa disebut DVI merupakan suatu prosedur identifikasi yang dilakukan terhadap korban kematian akibat bencana massal ini. Dalam melakukan identifikasi, DVI mengacu pada standar baku International Police Organization (Interpol) yang terdiri dari:
  • Data primer berupa
  1. profil gigi -> bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang. Tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.
  2. sidik jari (fingerprint)
  3. pemeriksaan DNA
  • Data sekunder berupa
  1. visual
  2. fotografi
  3. properti (pakaian, perhiasan, dokumen, dll)
  4. medik - antropologi (pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban)
Pada korban kematian akibat letusan gunung merapi, banyak kesulitan yang dialami, terutama karena penampakan mayat yang sama sekali tidak bisa dikenali secara kasat mata karena wajah dan tubuhnya telah hancur terbakar,..
Dalam keadaan seperti inilah kemudian identifikasi dibutuhkan. Dalam prosesnya, DVI terdiri dari beberapa fase, yaitu:
  1. in the scene of incidents atau biasa disebut tempat kejadian peristiwa (TKP). Dalam fase ini, dilakukan pembatasan area dengan menggunakan police borderline sehingga area TKP tidak rusak serta dapat dilakukan labeling dan dokumentasi untuk kepentingan identifikasi.
  2. collecting post mortem data yang terdiri dari pemeriksaan medik - antropologi, pengambilan foto, pengambilan sidik jari, pemeriksaan rontgen, pemeriksaan odontology forensik, hingga pengambilan sampling untuk pemeriksaan DNA.
  3. collecting ante mortem data yang biasa dilakukan dengan menanyakan pada keluarga ini.
  4. reconciliation -> dalam fase ini, data post mortem dan ante mortem yang telah didapatkan dibandingkan dan dicocokkan. Jika kecocokan semakin banyak, maka identitas korban akan semakin mudah untuk diketahui.
  5. returning to the family -> jika korban telah teridentifikasi, selanjutnya dilakukan rekonstruksi hingga didapatkan kondisi/kosmetik terbaik untuk kemudian dikembalikan pada keluarganya.
Dalam pelaksanaanya, identifikasi bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak kesulitan yang dialami karena buruknya sistem informasi dan pengumpulan data yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, proses reconciliation menjadi sulit dilakukan karena kurangnya data informasi ante mortem korban. Bayangkan saja, untuk mendapatkan data primer saja kita masih kesulitan karena:
  • buruknya pencatatan dan rekam medis, sehingga data - data hasil pemeriksaan gigi tidak tersimpan dan tercatat dengan baik.
  • masih rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemeriksaan gigi berkala, sehingga data ante mortem profil gigi pun sulit didapatkan.
  • hanya masyarakat yang memiliki SIM saja yang tersimpan data sidik jarinya di kepolisian
Merujuk pada pentingnya data primer dalam proses identifikasi, sudah selayaknya pemerintah kita membuat aturan - aturan baru sehingga kedepannya, data - data rekam medis, data pemeriksaan gigi, dan data sidik jari menjadi lebih mudah untuk didapatkan. Kita tidak bisa selalu mengandalkan pemeriksaan DNA karena mahalnya biaya! dan lagi dalam pemeriksaan DNA dibutuhkan adanya kerabat dengan hubungan vertikal (orangtua atau anak).

Minimal, wajar kan jika sidik jari seluruh warga Indonesia terdata dan tercatat sehingga memudahkan proses identifikasi?

atau,..

Bisa juga kan pemerintah mengadakan periksa gigi gratis berkala tiap jangka waktu tertentu, sehingga bukan hanya orang mampu saja yang memiliki data profil gigi,..

referensi:
  • ilmu kedokteran forensik (Amri, 2007)
  • Disaster Victim Identification Guide (International Criminal police Organization)
  • Forensic pathology (Bernard, 1996)
  • Peraturan no 1087/MenKes/SKB/IX/2004
  • Peraturan POL Kep/401/IX/2004

Selasa, 16 November 2010

Selamat Hari Raya Idul Adha

Saya selaku penulis blog ini mengucapkan selamat hari raya Idul Adha bagi kita semua yang merayakan,..
Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah,..

Berhubung saya meyakini kalau hari raya Idul Adha jatuh pada hari ini (tanggal 16 November 2010)
jadi,.. hari ini blog nya libur dulu ya,.. maw mbantu2 di masjid.. hehe

mbantu gini2 nih:

Sabtu, 13 November 2010

Awas Merapi!! Pemerintah kita kesiangan menanggapi bencana,..

Indonesia merupakan negara rawan bencana, selain karena letak geografisnya yang terletak di lempengan Australia -Asia sehingga rawan akan terjadinya gempa, Indonesia juga termasuk dalam "ring of fire" yang memiliki gunung berapi terpadat di dunia, sehingga rawan pula akan letusan gunung berapi


Berbagai bencana seakan tidak pernah berhenti mendatangi negeri kita ini, dari banjir bandang yang menerjang Wasior, longsor di Morowali, puting beliung di Yogyakarta dan Jawa Tengah, gempa dan tsunami yang terjadi di Mentawai. hingga letusan Gunung Merapi yang saat ini sedang terjadi di Yogyakarta.
Dengan adanya rentetan bencana yang seolah - olah telah menjadi siklus tahunan ini, sudah selayaknya pemerintah kita selalu siap siaga manakala terjadi bencana,
Namun,..

Apa yang terjadi?

Kenyatannya, hampir setiap terjadi bencana, kita selalu tidak siap, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Penanganan bencana di Indonesia bisa dikatakan masih belum optimal dan maksimal meski negeri ini sering dilanda bencanana. Lihat saja kasus gunung merapi! Gunung merapi merupakan salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Gunung ini bahkan seperti memiliki siklus peningkatan aktivitas yang akan berujung letusan tiap 4 tahun sekali, seperti pada tahun 1997, 2001, 2006, dan sekarang (2010). Dari hal ini saja jelas seharusnya pemerintah kita telah matang dalam menanggulangi kemungkinan terburuk jika terjadi letusan gunung lagi di kemudian hari.
Namun,..
Bisa dilihat apa yang sekarang terjadi, korban meninggal akibat letusan pertama gunung merapi pada tanggal 26 oktober 2010 bahkan mencapai sekitar 30 orang.

Bagaimana ini bisa terjadi?
Sebenarnya, apa saja yang telah dilakukan pemerintah kita?

Sejatinya, menurut Undang - Undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, telah diatur bahwa dalam menanggulangi bencana dibentuk suatu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB memiliki tugas dalam siklus manajemen bencana yang meliputi:
  1. Prevensi -> dengan cara mengukur dan memperkirakan bencana untuk kemudian melakukan upaya mengurangi ancaman bencana
  2. Mitigasi -> upaya mengurangi risiko bencana dengan pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana
  3. Preparedness (kesiap - siagaan) -> kegiatan untuk mengantisipasi bencana
  4. Respone -> tanggap darurat bencana yang dilakukan saat terjadi bencana untuk mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan
  5. Recovery -> kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi
  6. Development -> berupa pengembangan dan modernisasi penanganan bencana
Berdasarkan UU ini saja bisa dibayangkan bahwa di Indonesia telah memiliki badan yang khusus menangani bencana dengan upaya penanggulangan yang menyeluruh dari sebelum terjadi bencana hingga pemulihan setelah terjadi bencana.
Namun, seperti biasa,..

"Masyarakat dan pemerintah kita tidak pernah belajar dari pengalaman"

Selalu tidak ada upaya prevensi,..
Pemerintah dan masyarakat baru akan bertindak jika bencana sudah terjadi. Bahkan, dana APBN yang dialokasikan untuk penanganan bencana sering tidak boleh digunakan jika belum terjadi bencana. Tentu hal ini sangat aneh, bukankah dalam UU telah disebutkan bahwa prevensi dan mitigasi merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana?

Mengapa pemerintah dan masyarakat selalu terpaku pada bencana yang sedang/telah terjadi?
bukan pada bencana yang belum terjadi? yang sejatinya masih bisa ditanggulangi secara dini agar tidak menimbulkan korban yang besar,..

Jika pemerintah kita telah menjalankan protokol pengangan bencana dengan benar, maka kejadian seperti korban tewas merapi tidak akan jatuh sebanyak sekarang ini. Berbeda dengan gempa yang tidak bisa diprediksi, aktivitas gunung merapi bisa diprediksi dengan kemungkinan - kemungkinan terjadi letusan, sehingga seharusnya pemerintah kita telah tanggap dan siap siaga untuk kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah kita sering kali menutup mata terkait pengangan bencana yang ada di negara kita ini. Jika korban sudah jatuh begitu banyak, mereka baru kemudian bertindak sambil saling tuding dan menyalahkan.

Jika terus seperti ini, sistem penanggulangan bencana di negara kita tidak akan pernah bisa berjalan. Pemikiran - pemikiran kuno ini harus dibuang jauh - jauh! Bagaimanapun juga, mencegah lebih baik daripada mengobati. Namun, upaya menumbuhkan kesadaran untuk pencegahan inilah yang sangat sulit untuk dilakukan. Untuk itulah peran pemerintah sangat dibutuhkan! Selain itu, pengawasan juga harus selalu dilakukan sehingga badan yang bekerja dalam penanggulangan bencana, seperti BNPB bisa dan mau melakukan penanggulangan bencana yang menyeluruh.

referensi:
  • Undang - Undang nomor 24 tahun 2007
  • KMK RI nomor 1653/MenKes/XII/2005
  • Berita Kompas
  • Disaster Management: A Disaster Manager's Handbook (Asian Development Bank, 1991)

Rabu, 10 November 2010

Awas!! Dunia terancam flu mematikan!

Dalam beberepa tahun terakhir, dunia dihebohkan dengan munculnya penyakit - penyakit infeksi dan menular baru seperti SARS, flu burung, hingga terakhir yang sempat dinyatakan sebagai pandemi global yaitu flu babi.

Bagaimana dunia mengatasi hal seperti ini?
Bahkan dalam cakupan yang lebih sempit, yaitu dalam satu wilayah di suatu negara saja, seperti yang telah saya tulis dalam "wabah!!! seberapa tanggapkah pemerintah kita?" Pemerintah kesulitan menghadapi suatu wabah penyakit, lalu bagaimana dengan penyakit infeksi yang sangat mudah menular dan menyebar ke beberapa negara di berbagai belahan dunia?

Sebut saja virus flu babi.
Flu babi merupakan penyakit influenza yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H1N1 yang dapat ditularkan melalui binatang, terutama babi dengan adanya kemungkinan penularan antar manusia. Secara umum penyakit ini mirip dengan influenza dengan gejala klinis berupa demam, batuk pilek, letih, lesu, nyeri tenggorokan, nafas cepat, dan sesak nafas.

Flu babi menular dengan mudah melalui udara dan kontak langsung dengan penderita. Penyakit ini akan sangat berbahaya karena mudah menyebar, apalagi dengan tingkat mobilitas masyarakat dunia sekarang ini. Sangat mungkin bagi si pembawa virus untuk menyebarkan virus ini jika ia sangat mobile dan sering bepergian baik itu lewat jalur udara, darat, maupun laut. Bisa dibayangkan betapa mudahnya virus ini menyebar jika saat di bandara si pembawa virus menyebarkan penyakitnya ke orang - orang yang kemudian pergi dengan tujuan yang berbeda ke berbagai tempat dan negara.

Lalu apa tindakan dunia?
Apa aksi yang akan dilakukan?
Siapa yang bertanggung jawab?

Pada dasarnya, kebijakan penanganan suatu penyakit dan wabah yang men-dunia seperti ini merupakan hak tiap negara, dalam hal ini banyak negara akan melakukan tindakan prevensi. Walaupun agak terlambat dan berjalan lambat, di Indonesia kemudian dilakukan:
  1. peningkatan kewaspadaan kemungkinan masuknya virus wilayah indonesia dengan menyiagakan pintu - pintu masuk negara di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Salah satunya dengan mengaktifkan thermal scanner, sehingga orang - orang yang demam dan diduga menderita flu babi akan dikarantina sementara dan ditangani secara khusus agar tidak menyebarkan virus ini.
  2. mewaspadai semua kasus dan gejala yang mirip dengan influenza.
  3. meningkatkan kegiatan surveilans terhadap penyakit mirip influenza dan pneumonia, serta melaporkan kasus dengan kecurigaan mengarah ke flu babi kepada Posko KLB Direktorat Jenderal PP dan PL dengan nomor telepon (021) 4257125.
  4. Meningkatkan koordinasi dan rujukan khusus ke rumah sakit yang memiliki fasilitas penanganan flu babi, serta menyebarluaskan informasi mengenai flu babi ke seluruh jajaran kesehatan di Indonesia.
Penanganan di berbagai negara lain pun tidak jauh berbeda dengan di Indoensia. Pemeriksaan di bandara dan pelabuhan internasional menjadi sangat ketat untuk mencegah masuknya virus flu babi ini. Namun, pada akhirnya hal ini hanya merupakan pencegahan individualis oleh masing - masing negara.

Menurut saya, disinilah fungsi suatu badan/organisasi kesehatan dunia yang bisa memfasilitasi kerja sama antar negara dalam mencegah penyebaran dan membasmi virus flu babi ini. Dalam hal ini, organisasi kesehatan dunia seperti CDC (Center for Disease Control) dan WHO (World Health Organization) menjadi sangat berperan penting. Walaupun organisasi ini tidak memiliki wewenang untuk mengatur tiap - tiap negara, namun CDC dan WHO sangat berguna dalam penyetaraan standart penanganan penyakit dengan memberikan guidlines, serta dapat menjadi pusat jalur informasi dan pendataan epidemiologi di dunia.

Sekarang ini, pandemi flu babi telah dinyatakan selesai. Walaupun dianggap berlebihan, namun kewaspadaan dini terhadap flu babi lebih baik daripada terlambat. Virus flu babi masih mungkin menyebar dan menyebabkan wabah, karena itulah surveilans epidemiologi yang berkelanjutkan masih terus dibutuhkan.
Padahal,..
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya,..
Untuk mengontrol penyakit yang sudah menjadi makanan sehari - hari di Indonesia saja pemerintah kita masih ngos - ngosan, bagaimana dengan penyakit - penyakit baru ini?

referensi
  • WHO
  • KepMenKes nomor 311/MenKes/SK/V/2009
  • www.depkes.go.id

Senin, 08 November 2010

WABAH!!! Seberapa Tanggapkah Pemerintah Kita?


Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.
Kejadian wabah berpontensi menimbulkan keadaaan KLB (Kejadian Luar Biasa) berupa peningkatan kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Indonesia, sebagai daerah tropis dengan kejadian penyakit infeksi yang tinggi dan berpotensi menjadi KLB, apa yang telah dilakukan pemerintah kita?

Sebenarnya, Berdasarkan Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004 telah dibuat suatu sistem kewaspadaan dini KLB (SKD - KLB) dengan menerapkan surveilans epidemiologi untuk pencegahan dan penanggulangan cepat suatu wabah.
Surveilans epidemiologi berupa kajian secara terus menerus, berkelanjutan, dan sistematis terhadap penyakit berpotensi KLB didasarkan pada:
  1. Laporan masyarakat mengenai wabah
  2. data epidemiologi KLB
  3. surveilans terpadu berbasis KLB
  4. sistem peringatan dini di RS dan puskesmas
Dalam pelaksanaannya, selalu dilakukan pemantauan terhadap penyakit - penyakit yang berpotensi KLB sehingga jika terjadi peningkatan yang signifikan akan segera dilakukan peringatan kepada unit terkait dari DinKes kab/kota, DinKes propinsi, hingga DepKes. Selanjutnya akan diturunkan tim khusus untuk melakukan deteksi dini di tempat yang terkena wabah.

Namun, dengan adanya sistem yang telah dibentuk dengan sangat baik ini,..
Mengapa masih sering timbul KLB?
Mengapa penanganan KLB masih lambat?

Lihat saja kasus demam berdarah,
Indonesia merupakan negara dengan banyak daerahnya merupakan daerah endemis demam berdarah, dengan banyaknya kasus demam berdarah, dan tentu saja sangat berpotensi menjadi KLB. Sudah seharusnya penyakit yang tidak pernah absen ini selalu dalam pantauan dan terdata oleh surveilans epidemiologi. Namun, bisa dilihat angka kematian akibat demam berdarah masih tinggi! Bahkan pada tahun 2004, pemerintah sempat menetapkan KLB penyakit demam berdarah di SELURUH INDONESIA. Pada tahun itu, kejadian demam berdarah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan jumlah kematian mencapai 1 - 3% dari total kasus.
Apa sebenarnya yang dilakukan pemerintah kita selama ini?

Sesuai dengan Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004, sebenarnya telah dibentuk SKD - KLB yang harus selalu siap sedia dalam penanganan penyakit apapun yang berpotensi menjadi KLB. Namun, dalam pelaksanannya butuh ketekunan dalam administrasi dan pendataan semua penyakit yang terjadi dan ditangani di puskesmas hingga rumah sakit. Disini lah kemudian timbul permasalahan,..

"Sistem di negara kita belum mampu menyajikan data yang akurat dan update"

Mengapa saya bisa berkata demikian?
Jika tidak percaya, cobalah anda mencari data - data epidemiologi lengkap penyakit - penyakit di Indonesia. Bisa ditebak pasti anda akan kesulitan karena minimnya data - data yang ada, apalagi data terbaru. Data yang terkumpul hanya menjadi data mentah yang kemudian tidak diolah sehingga tidak bisa memberi informasi apapun. Otomatis surveilans epidemiologi pun akan sulit terlaksana dengan keadaan yang seperti ini. Belum lagi ditambah dengan minimnya kesadaran tenaga kesehatan dalam pencegahan dan deteksi dini suatu penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB. Mereka tidak merasa itu penting jika belum terjadi wabah. Sama seperti orang sakit yang baru menyadari bahwa kesehatan itu penting dan nikmat.
Jika kelakuan ini tidak dirubah, semua sistem yang telah dibuat tidak akan bisa berjalan dan akan menjadi percuma!

Bahkan untuk mengontrol penyakit yang sudah menjadi makanan sehari - hari di Indonesia saja pemerintah kita masih ngos - ngosan, bagaimana dengan penyakit lain?

referensi:
  • Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004
  • PP nomor 40 tahun 1991
  • UU nomor 4 tahun 1984

Sabtu, 06 November 2010

Obat MAHAL lebih manjur ya dok ???


Semua orang pasti pernah sakit, dan saat sakit kita akan berobat kepada dokter. Setelah berobat, biasanya kita akan mendapat resep obat yang harus ditebus dan diminum demi kesembuhan. Di sinilah kemudian timbul permasalahan,..

"Wah obatnya kok mahal sekali!"

Saya pribadi pernah memeriksakan diri ke dokter di RS X saat sakit, kemudian saat bermaksud menebus obat, saya terkaget - kaget karena harga obatnya sangat mahal!
Bagaimana saya bisa membeli obat itu? akhirnya saya hanya membeli sebagian sesuai uang yang saya bawa...

Hal seperti di atas sering terjadi, tidak hanya pada saya, namun juga pada masyarakat.
Ya,..
Harga obat terlalu mahal!
Namun,..
Benarkah semua obat itu mahal?
Mengapa harga obat itu mahal?

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai harga - harga obat ini, kita perlu mengetahui macam - macam obat yang beredar di Indonesia, yaitu:
  1. obat paten -> obat paten merupakan obat baru yang ditemukan berdasarkan riset. Berdasarkan Undang - Undang Nomor 14 tahun 2001, obat paten memiliki masa paten selama 20 tahun. Perusahaan farmasi pemilik hak paten memiliki hak eksklusif untuk memproduksi obat ini dimana perusahaan lain tidak diperkenankan memproduksi dan memasarkan obat yang sama kecuali atas ijin pemilik hak paten. Obat ini jelas tidak ada versi obat generiknya.
  2. obat generik -> obat generik merupakan obat paten yang telah habis masa paten nya, sehingga perusahaan farmasi lain bebas memproduksi dan memasarkan obat ini.
  3. obat bermerek -> obat bermerek merupakan obat yang diproduksi dan dijual oleh perusahaan farmasi tertentu. Obat ini tidak berbeda dengan obat generik, namun kemudian dijual dengan harga yang lebih mahal.
Lalu, mengapa obat paten dan bermerek menjadi jauh lebih mahal dari obat generik?

Perlu kita ketahui, obat paten merupakan obat baru yang membutuhkan proses penemuan dan pengembangan yang sangat lama dan menyedot biaya. Tahapan dalam pembuatan obat ini mencakup:
  1. proses penemuan obat berupa sintesis dan skrining
  2. uji preklinik
  3. uji klinik
  4. permohonan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
  5. pemasaran
Untuk poin 5, yaitu pemasaran menjadi hal yang sangat penting dan fundamental bagi obat paten dan obat bermerek untuk meningkatkan penjualannya. Berbeda dengan obat generik yang murah dan lebih terjangkau masyarakat sehingga menjadi pilihan DepKes untuk menyuplai kebutuhan obat di puskesmas dan rumah sakit, obat paten dan obat bermerek butuh usaha yang gencar untuk mempromosikan obatnya agar dipakai oleh dokter - dokter. Ada berbagai cara yang dilakukan untuk meningkatkan pemasaran ini, seperti dengan:
  • memberi imbalan bagi dokter yang meresepkan obat
  • menjadi sponsor kegiatan seminar, workshop, dll
Pada akhirnya, mahalnya harga obat paten dan obat bermerek ini dikarenakan biaya promosi yang dilakukan pihak farmasi yang bahkan bisa mencapai 80% dari harga obat. Sebagai contoh, satu butir obat bermerek yang berharga 1000 rupiah, sebenarnya harga produksinya hanya 200 rupiah dengan 800 rupiah sisanya merupakan biaya promosi yang dibebankan pada pembeli obat.

Setelah kita mengetahui semua ini, tentu kita akan berpikir "mengapa dokter tidak meresepkan obat generik saja".
Perlu diingat bahwa tidak semua jenis obat ada versi generiknya. Obat paten yang masih diproduksi oleh satu perusahaan farmasi saja tentu tidak akan ada versi generiknya. Yang menjadi pertanyaan adalah saat dokter meresepkan obat bermerek dengan harga yang mahal dibandingkan obat generiknya yang jelas jauh lebih murah. Apa motif si dokter?

Si dokter tidak tahu ada obat generik?
Obat mahal dan bermerek dianggap lebih manjur?
atau,..
Demi keuntungan pribadi si dokter?

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), disebutkan bahwa "Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi". Beberapa perbuatan yang dipandang bertentangan dengan kode etik ini adalah:
  1. menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.
  2. membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi, perusahaan alat kesehatan, atau badan lain yang mempengaruhi pekerjaan dokter.
  3. melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat, atau bahan lain guna keuntungan pribadi dokter.
Lantas, bagaimana dengan dokter yang meresepkan obat mahal? apakah dokter itu salah? Kita tentu tidak bisa menilai dokter itu begitu saja. Kita perlu mengetahui alasan dan pertimbangan si dokter. INGAT! meresepkan obat mahal bukanlah suatu hal yang salah. Namun, dalam meresepkan obat perlu berbagai pertimbangan. Menurut saya pribadi, obat mahal atau murah adalah hak pasien untuk memilih. Kita tidak berhak menghilangkan autonomy pasien untuk memilih obat yang lebih murah, namun kita juga tidak berhak menghilangkan hak pasien untuk memilih obat yang lebih mahal.
Tidak selamanya murah itu baik, dan tidak selamanya pula mahal itu bagus,..
Biarkan pasien memilih, tugas dokter lah untuk memfasilitasi.

Kita boleh meresepkan obat mahal jika itu kehendak pasien,..
Kita boleh menerima imbalan dari pihak farmasi selama itu tidak mempengaruhi kebebasan dan kemandirian kita dalam meresepkan obat,..
Jadi,..
Semua itu tergantung niat si dokter,..

Mau jadi dokter seperti apakah kita???

referensi:
  • Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
  • Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
  • Peraturan Undang - Undang Nomor 14 tahun 2001

Kamis, 04 November 2010

Kapitasi... meningkatkan mutu? atau keuntungan pihak tertentu?


Secara definisi, kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana pemberi pelayanan kesehatan (PPK) menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu tertentu. untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu tertentu.
Pembayaran kapitasi ini merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan PPK pada posisi menanggung resiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Berbeda dengan sistem pembayaran fee for service yang akan meningkatkan penghasilan jika semakin banyak pasien yang sakit dan berobat, pada sistem pembayaran kapitasi ini PPK akan mendapat uang/dana yang sama baik saat peserta yang ditanggung itu sehat maupun sakit. Jadi, jika peserta yang ditanggung oleh PPK banyak yang sakit dan berobat, ini justru akan mengakibatkan kerugian.

Sebenarnya, awal mula sistem kapitasi ini dilatarbelakangi oleh tidak terkendalinya biaya akibat overutilisasi dan demand creation/suplay induce demand. Dalam hal ini, telah banyak terjadi moral hazard yang dilakukan oleh PPK karena miskinnya informasi mengenai penyakit dan pelayanan yang benar - benar dibutuhkan oleh pasien. Banyak pasien yang diberi rujukan untuk pemeriksaan MRI, CT scan, USG, EKG, dll oleh PPK yang tidak bertanggungjawab tanpa indikasi yang sesuai. Hal ini tentu mengakibatkan overutilisasi yang sangat merugikan pasien karena harus mengeluarkan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan, sehingga muncul ide untuk mengendalikan hal ini yang akhirnya mencetuskan sistem kapitasi ini.
Dengan adanya sistem kapitasi ini, diharapkan akan terjadi:
  • Pemberian pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnostik yang akurat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat sehingga pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke PPK untuk konsultasi ataupun tindakan lebih lanjut yang menambah biaya.
  • Pemberian pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidensi kesakitan baru sehingga peserta tidak perlu lagi berkunjung ke PPK. Hal ini tentu akan menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih kecil.
  • Pemberian pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisiensi dan menekan biaya pelayanan.
Secara teori, sistem kapitasi ini merupakan sistem yang sanagt baik dengan keuntungan yang akan didapatkan semua pihak, baik dokter, pasien, maupun pihak asuransi. Namun, pada kenyataanya masih banyak hambatan dalam pelaksanaan sistem ini. Mutu pelayanan yang diharapkan meningkat justru kemudian menjadi turun karena hal - hal seperti:
  • Sering melakukan rujukan agar waktu pelayanan lebih cepat, dapat melayani banyak orang, dan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkannya. Hal ini biasa terjadi pada pola kapitasi parsial, dimana PPK hanya menjamin rawat jalan dasar saja, sementara untuk rawat jalan lanjutan ataupun rawat inap perlu dirujuk ke tempat lain.
  • Mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non kapitasi yang tentu akan membayar lebih banyak. Artinya, mutu pelayanan menjadi berkurang karena waktu pelayanan yang singkat.
  • Tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak banyak. Hal inilah yang kemudian sering menimbulkan banyaknya keluhan peserta atas pelayanan yang tidak memuaskan.
Pada akhirnya, sistem yang digunakan untuk meningkatkan mutu justru kemudian akan sangat menurunkan mutu pelayanan kesehatan oleh PPK. Untuk itu diperlukan suatu evaluasi yang mampu menilai keberhasilan sistem ini.
Ada 3 hal penting yang harus selalu dievaluasi dalam pelaksanaan sistem kapitasi, yaitu:
  1. utilisasi biaya
  2. status kesehatan,
  3. kepuasan peserta
Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, diperlukan telaah utilisasi (utilization review) sebagai sistem evaluasi yang berguna untuk memberikan informasi kepada pembayar dan PPK apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah pas pada titik optimal. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu pelayanan yang tidak memenuhi standar, sementara utilisasi yang berlebihan merugikan PPK. Selain itu, telaah utlisasi ini juga sangat penting untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang kurang memadai memang terjadi.

Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem kapitasi merupakan sistem yang ideal jika mampu terlaksana dan sistem evaluasi berjalan dengan baik. Namun, disinilah kemudian timbul pertanyaan,

"Apakah rakyat Indonesia telah siap dengan sistem ini?"

Sasaran utama sistem ini adalah upaya peningkatan mutu pelayanan sehingga pasien tidak akan bolak - balik ke PPK karena sakitnya. Namun, apa guna kuratif tanpa upaya promotif dan preventif ?
Bagaimanapun juga, dengan sistem kapitasi ini, semakin banyak pasien akan semakin merugikan PPK. Jadi, bisa dibayangkan apa yang akan dialami dokter dan PPK lain karena masyarakat Indonesia yang masih:
  • rendah dalam derajat kesehatan sebanding dengan tingkat kesejahteraan dan kemiskinan di Indonesia
  • buruk dalam pengontrolan penyakit - penyakit kronis, seperti DM dan hipertensi
  • rendah dalam tingkat kesadaran akan kesehatan
  • buruk dalam tingkat kepatuhan pasien terhadap larangan - larangan yang disampaikan dokter
Lantas, apa sebagai dokter kita harus selalu mengawasi satu per satu pasien kita?
Mengingatkan lewat telepon setiap hari?
Mengingatkan minum obat?
Mengingatkan untuk olah raga?

Bagaimana jika peserta tanggungan kita mencapai 10000 orang?

Mari berpikir realistis! Secara pribadi saya setuju dengan konsep Kapitasi ini,..
Namun,..
Sistem ini tidak akan bisa berjalan di Indonesia selama kesadaran masyarakat kita akan kesehatan masih rendah.
Jika dipaksakan, siapa yang akan diuntungkan oleh sistem ini?
Dokter?
Pasien?
atau,... justru pihak ketiga semacam perusahaan Asuransi?

-tulisan ini bukanlah serangan terhadap pihak tertentu, namun kritikan terhadap sistem di pemerintahan kita, jangan hanya selalu mengatur kebijakan teoritis, tetapi lakukan yang aplikatif. Yang baik di sana belum tentu baik di sini. Pikirkan itu! Semoga Indonesia ku menjadi lebih baik-

referensi:
  • Pembayaran Kapitasi (Hasbullah Thabrany)
  • Source Book of Health Insurance Data, HIAA

Selasa, 02 November 2010

"orang miskin" DILARANG sakit ?


Kebutuhan akan kesehatan sangatlah tidak terbatas, namun dana untuk kesehatan sangatlah terbatas. Sekarang ini,biaya untuk berobat tidaklah murah. Hanya orang - orang yang mampu membayar yang bisa mendapatkan service kesehatan.
Lantas, bagaimana jika orang miskin sakit?
Bukankah seharusnya kesehatan menjadi milik publik?
Mengapa sekarang ini kesehatan justru menjadi seperti milik privat yang hanya akan didapatkan orang yang mampu membayar?

"JAMKESMAS"

Sejenak, saat membaca kata ini saya berpikir bahwa ini adalah jalan keluar dari masalah kita. Namun, kenyataanya masih jauh dari itu.

Sebagai informasi, JAMKESMAS merupakan singkatan dari jaminan kesehatan masyarakat, suatu program yang dibuat pemerintah untuk menjamin kebutuhan kesehatan bagi masyarakat kurang/tidak mampu. JAMKESMAS ini bukanlah suatu program baru. Program ini hanya melanjutkan program terdahulunya (askeskin dan kartu sehat) yang semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin.

Dalam pelaksanaanya, keluarga miskin/tidak mampu yang berhak masuk sebagai peserta JAMKESMAS ditentukan oleh pendataan dari BPS (Badan Pusat Statistik) dengan mekanisme di lapangan diserahkan melalui Kelurahan, RW, dan RT setempat. Adapaun kriteria menurut BPS untuk suatu keluarga dikatakan tidak mampu, yaitu:
  1. Luas lantai bangunan tempat tingggal <>
  2. Jenis lantai rumahnya masih tanah/bambu/kayu murahan/semen kualitas jelek
  3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu kualitas rendah/tembok tanpa plester
  4. Tidak punya fasilitas tempat buang air besar
  5. Sumber penerangan utama bukan listrik
  6. Sumber air minum dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan
  7. Bahan bakar untuk memasak menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah
  8. Hanya mampu makan daging/susu/ayam 1x seminggu
  9. Hanya mampu membeli 1 stel pakaian/tahun
  10. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas
  11. Hanya mampu makan 1/2 kali sehari
  12. Pendapatannya di bawah Rp 600.000 per bulan
  13. Riwayat pendidikan KK maksimal SD
  14. Tidak memiliki tabungan/barang yang nilai jual minimal Rp 500.000
bila terpenuhi 9 dari 14 kriteria ini, maka sudah dianggap tidak mampu dan akan mendapat kartu JAMKESMAS seperti ini


Secara teori, dengan adanya program JAMKESMAS ini, seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati layanan kesehatan yang disediakan. Masyarakat dengan keadaan ekonomi menengah ke atas dapat membayar sesuai kemampuannya dan masyarakat miskin mendapat bantuan dana dari pemerintah. Namun, pada kenyataanya tidak semudah itu, banyak masalah dalam pelaksanaan program ini, di antaranya adalah:
  1. Data peserta JAMKESMAS yang masih belum akurat dan tidak tepat sasaran.
  2. Sosialisasi program JAMKESMAS yang belum optimal. Rata-rata 80% responden yang ditanya mengakui tidak tahu manfaat dari kartu JAMKESMAS.
  3. Adanya pungutan dalam mendapatkan kartu.
  4. Masih adanya peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat dengan berbagai alasan, seperti takut ditolak RS/puskesmas, administrasi akan dipersulit, mendapatkan pelayanan yang buruk. Ada pula yang masih bisa menanggung biaya sendiri dan malas membawa kartu.
  5. Masih ada pasien JAMKESMAS yang mengeluarkan biaya.
  6. Kualitas pelayanan pasien JAMKESMAS masih buruk, seperti antrian panjang pendaftaran, sempitnya ruang tunggu, rumitnya administrasi, dan lamanya menunggu dokter. Bahkan masih ada penolakan dari pihak RS terhadap pasien JAMKESMAS.
Dari masalah - masalah di atas, jelas terbukti masih buruknya kualitas pelaksanaan program JAMKESMAS. Kendala utama dari pelaksanaan program ini adalah masih buruknya pendataan peserta dan minimnya informasi yang dimiliki masyarakat mengenai JAMKESMAS. Bahkan, banyak masyarakat mampu yang mengaku miskin agar mendapatkan JAMKESMAS seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan. Data masyarakat miskin yang masuk dalam JAMKESMAS menjadi jauh berbeda dengan data masyarakat miskin yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel. Bayangkan saja, peserta JAMKESMAS dalam database DinKes Kalsel tercatat sebanyak 843.837 jiwa, atau 25% dari total seluruh masyarakat Kalsel, sementara data BPS Kalsel menyebutkan masyarakat miskin yang ada di Kalsel hanya 5,22%. Belum lagi masalah dengan masyarakat miskin yang tidak mempunyai kartu identitas seperti gelandangan, pengemis, anak terlantar. Mereka ini sudah miskin material, miskin informasi, miskin indentitas pula. Tentu orang - orang seperti ini tidak akan tahu dan tidak akan bisa mengurus kepesertaan JAMKESMAS yang tergolong ribet.

Jadi,..
Kalau saya sakit, tetapi saya miskin dan tidak punya kartu JAMKESMAS.
Apa saya mendapat layanan kesehatan?
atau...
Saya tidak boleh sakit?


referensi:
  • riset Indonesia Corruption Watch tentang (ICW) --> Citizen report Card (CRC) mengenai JAMKESMAS
  • Pedoman Pelaksanaan JAMKESMAS oleh DepKes
  • Badan Pusat Statistik (BPS)

Minggu, 31 Oktober 2010

"Desentralisasi Kesehatan"... meningkatkan PEMERATAAN atau KESENJANGAN ??

Masih berkisar dalam tema keadilan dan pemerataan layanan kesehatan...
Apa yang ada dalam pikiran anda saat terlintas kata "Desentralisasi" ?

Secara definisi, desentralisasi merupakan pemindahan tanggung jawab dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pembangkitan, serta pemanfaatan sumber daya serta kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke :
  1. Unit- unit territorial pemerintah pusat atau kementrian
  2. Tingkat pemerintahan yang lebih rendah
  3. Organisasi semi otonom
  4. Badan otoritas regional
  5. Organisasi non pemerintah atau organisasi yang bersifat sukarela
Dalam sistem kesehatan di negara kita, menurut Undang – Undang No 22 tahun 1999 tentang Otonomi daerah, dijelaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh adalah melalui penerapan asas desentralisasi pada daerah kabupaten/kota. Dalam hal ini, pemerintah daerah kabupaten/kota, bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggara pembangunan pada umumnya dan pembangunan kesehatan pada khususnya dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Konsep - konsep inilah yang kemudian memunculkan sistem desentralisasi pada sistem kesehatan di negara kita. Dengan adanya sistem desentralisasi ini diharapkan suatu daerah dapat mengatur kebutuhan akan layanan kesehatan di daerahnya. Terutama kebutuhan yang sesuai dengan epidemiologi penyakit, tenaga kesehatan yang dibutuhkan, serta ATP (Ability to Pay) dan WTP (Willing to Pay) masyarakat di daerah itu.

Secara teori, konsep ini nampak bagus dan akan berdampak positif pada pelayanan kesehatan di daerah. Namun, pada kenyataanya, banyak masalah yang terjadi karena hal ini, terutama:
  1. Pembagian tugas yang masih abu - abu antara pemerintah pusat dan daerah yang sering mengakibatkan saling lempar tanggung jawab
  2. Kurangnya SDM berkualitas pada daerah - daerah tertentu
  3. Kurangnya sumber dana pada daerah - daerah miskin
Dengan menggunakan tabel 2x2 kita bisa membagi kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan konsep desentralisasi ini.


Daerah Kaya

Daerah Miskin

Ekonomi masyarakat kuat

1

3

Ekonomi masyarakat lemah

2

4


Dari tabel ini, dihasilkan 4 kriteria keadaan, yaitu:
  1. Pemerintah daerah kaya dengan ekonomi masyarakat kuat
  2. Pemerintah daerah kaya dengan ekonomi masyarakat lemah
  3. Pemerintah daerah miskin dengan ekonomi masyarakat kuat
  4. Pemerintah daerah miskin dengan ekonomi masyarakat lemah

Dari data ini bisa diperkirakan bahwa, daerah dengan kriteria 1, akan mampu melaksanakan desentralisasi kesehatan tanpa hambatan dana, karena mekanisme pasar yang seimbang antara penyedia layanan kesehatan dengan ATP masyarakatnya. Namun, hal yang bertolak belakang akan terjadi pada daerah dengan kriteria 4. Daerah dengan kriteria ini tidak akan mampu menyediakan layanan kesehatan secara mandiri tanpa bantuan dana dari pemerintah pusat, bahkan dengan adanya bantuan pun, masyarakat di daerah ini tidak akan mampu mendapatkan layanan kesehatan yang disediakan karena rendahnya ATP masyarakatnya. Ini baru masalah dana, belum lagi masalah mengenai SDM di daerah. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika suatu daerah kekurangan SDM dan SDM kesehatan (SDMK) yang sangat esensial dalam pelaksanaan sistem desentralisasi ini.

Bagaimana jadinya jika pengelolaan layanan kesehatan dilakukan oleh SDM dan SDMK yang tidak kompeten?
Bagaimana jadinya jika dana yang tersedia tidak dikelola oleh SDM dan SDMK yang kompeten?
Bagaimana jadinya jika tidak ada SDMK pelaksana (dokter, perawat, bidan, dll) ?

Hal ini semakin menimbulkan kesenjangan antara daerah kaya dengan SDM dan pendapatan yang tinggi, dibandingkan dengan daerah kecil yang sangat kekurangan SDM dengan pendapatan yang rendah. Bisa dibayangkan, daerah dengan pendapatan dan SDM berkualitas yang tinggi akan mampu mengatur kebijakan - kebijakan dan melaksanakannya dengan anggaran yang dimiliki. Contohnya adalah daerah dengan pemasukan yang tinggi seperti Kalimantan Timur yang kemudian melakukan kebijakan adanya pemberian insentif dalam jumlah tinggi kepada dokter - dokter dan tenaga kesehatan lain yang mau bekerja di daerahnya. Dengan adanya bayaran dan fasilitas yang mumpuni, tentu saja para tenaga kesehatan akan lebih memilih untuk bekerja di sana daripada harus bekerja dengan bayaran yang sedikit di daerah miskin dan terpencil.


Dalam pelaksanannya, tentu pemerintah tidak tinggal diam dan kemudian mengatur kebijakan - kebijakan tertentu untuk mengusahakan pemerataan, seperti subsidi untuk daerah miskin, pengaturan persebaran tenaga medis melalui program - program PTT, program internsif dokter indonesia (PIDI), dan sebagainya...

Namun, pada akhirnya secara alami daya tarik daerah "kaya" tentu tetap akan lebih besar bagi tenaga medis dan SDMK lain yang cenderung akan lebih memilih daerah yang mampu membayar dan memberi fasilitas lebih kepada mereka.
Jika terus berlanjut seperti ini...
Bukankah hal ini akan terus meningkatkan kesenjangan?

Jadi,
Apa yang kita dapat dari sistem desentralisasi ini?
Pemerataan layanan kesehatan atau justu kesenjangan layaknya "si kaya dan si miskin" ?

Jumat, 29 Oktober 2010

“Manusia indonesia”... sumber DAYA atau sumber MASALAH ??

ide dan kebijakan muncul dari pemikiran manusia…
pelaksanaan kebijakan dapat terjadi jika ada manusia pelaksana...
ya…

manusia merupakan sumber daya utama dalam pembuatan dan pelaksanaan suatu sistem, tak terkecuali Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang ada di negara kita. Dalam SKN, manusia sebagai SDM berperan penting dalam mengatur dan membuat kebijakan hingga menjadi pelaksana di tingkat paling bawah. Sumber daya manusia ini terdiri dari pengatur – pengatur kebijakan seperti menteri kesehatan hingga pelaksana berupa dokter, perawat, bidan, dll.

Jika kita melihat pada besarnya jumlah penduduk di Indonesia yang mencapai 235 juta penduduk, bisa dikatakan Indonesia memiliki SDM yang berlimpah. Secara teori, dengan adanya SDM yang berlimpah ini, Indonesia akan mampu membuat berbagai kebijakan dan melaksanakannya dengan baik, termasuk kebijakan mengenai sistem layanan kesehatan di negara kita. Namun, pada kenyataanya sistem kesehatan yang ada di Indonesia masih jauh dari kata memuaskan. Sebagai contoh, dalam tulisan saya yang berjudul “Sudah ADIL kah Sistem Kesehatan di Negara Kita?”, tampak bahwa indonesia masih kekurangan tenaga kesehatan. Bisa dibayangkan, bahkan dengan adanya SDM yang melimpah, Indonesia masih mengalami masalah dalam pemenuhan SDM kesehatan (SDMK) untuk pembangunan kesehatan. Sungguh ironis, bangsa dengan SDM melimpah, namun kekurangan SDM kesehatan.

Apa yang salah?
Siapa yang salah?

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk dapat membuat sistem dan menjalankannya sesuai tujuan, dibutuhkan SDM yang berkualitas dengan sikap, pengetahuan, keterampilan dan karakter yang sesuai dengan tujuan sistem. Indonesia memang memiliki SDM yang berlimpah, namun…

Apakah SDM ini berkualitas?
Apakah SDM ini berpendidikan?
Apakah SDM ini terampil?

Pertanyaan – pertanyaan ini tentu akan terjawab jika kita melihat kenyataan bahwa Indonesia merupakan:

  • Negara dengan tingkat pendidikan yang rendah (hanya 55% anak – anak dari keluarga berpendapatan rendah terdaftar di sekolah menengah pertama)
  • Negara dengan tingkat kesejahteraan yang rendah (jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta atau sekitar 13,33%)
  • Negara dengan tingkat korupsi yang sangat tinggi ( berdasarkan data Political and Economic Risk Consultancy, Indonesia merupakan Negara terkorup se-Asia Pasifik)
  • Negara dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi (pada tahun 2005 mencapai angka 86 orang per 100.000 penduduk pertahun)

Saat kita melihat kenyataan ini,..

Bisa dibayangkan bahwa dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,36% per tahun, Indonesia mendapat tambahan 3,5 juta SDM per tahun. Penduduk yang berlimpah ini tentu bisa menjadi SDM yang berharga seandainya tingkat pendidikannya cukup tinggi dan berkualitas. Namun, dengan tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia, bisa dibayangkan seperti apa SDM yang akan terbentuk. Belum lagi bila ditambah dengan masalah korupsi yang semakin menyedot anggaran untuk pendidikan. Pada akhirnya, dengan pengelolaan yang minim kualitas ini, hanya akan terbentuk SDM yang minim kualitas dan tidak mampu bersaing dalam dunia kerja. Mereka hanya akan menjadi pengangguran, kemudian menimbulkan kemiskinan – kemiskinan baru sehingga berpotensi meningkatkan tingkat kriminalitas karena keterpaksaan dan desakan ekonomi untuk bertahan hidup”.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan sumber daya utama dalam pelaksanaan suatu sistem.
Namun,..
Saat manusia - manusia ini tidak memiliki cukup pengetahuan,..
Saat manusia - manusia ini tidak memiliki cukup keterampilan,..
Saat manusia - manusia ini tidak memiliki sikap dan karakter seorang profesional,..
Saat manusia - manusia ini tidak mampu memberikan kontribusi apapun,..
Bahkan hanya menjadi beban dan pelaku kriminal,..

masih pantaskah kita sebut "SUMBER DAYA" ??
atau...
justru manusia ini menjadi "SUMBER MASALAH" ??

-Tulisan ini merupakan kritikan terhadap saya, anda, dan semua warga Negara Indonesia. Semoga kita tergelitik dan terpacu untuk menjadi seorang SDM berkualitas-

Referensi:
  • www.worldbank.org/id/education
  • Indonesian forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD)
  • Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
  • Badan Pusat Statistik (BPS)

Rabu, 27 Oktober 2010

Sudah ADIL kah Sistem Kesehatan di Negara Kita?

Begitu banyak fakultas kedokteran di negara kita,..
Begitu banyak akademi ilmu keperawatan di negara kita,..
Begitu banyak sekolah ilmu kebidanan di negara kita,..
Begitu banyak CALON - CALON tenaga kesehatan di negara kita,..
Begitu banyak pula LULUSAN dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain setiap tahunnya...


Begitulah yang selalu dikatakan masyarakat kita
namun,..
Mengapa tingkat kesejahteraan kesehatan di negara kita masih saja rendah?
Mengapa masih banyak tempat di negara kita kekurangan dokter?
Menurut data WHO, jumlah rasio dokter : populasi penduduk di indonesia menempati peringkat paling bawah se-ASEAN, yaitu sebanyak 16 : 100.000. Jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki rasio 185 : 100.000. Tidak hanya itu saja, sebanyak 60 - 70 % dokter umum bekerja di pulau Jawa. Bisa dibayangkan dampak dari hal ini adalah semakin kurangnya dokter dan tenaga kesehatan di daerah - daerah terpencil.

"keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"

itulah bunyi sila ke-5 Pancasila yang salah satunya merujuk pada keadilan dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Namun, jika yang terjadi seperti kasus di atas, apakah bisa disebut keadilan?

Sebelum bertanya dan menerka lebih jauh, ada baiknya kita menengok kebijakan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di negara kita. Menurut SKN:

"Pemerintah wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan di luar negeri dalam kondisi tertentu"

dari kata - kata di atas, jelas disebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan layanan kesehatan yang ADIL dan MERATA. Lalu, apa saja yang sudah dilakukan pemerintah untuk melaksanakannya?
Tentu saja ada berbagai upaya pemerintah, sebut saja aturan Permenkes tentang dokter pegawai tidak tetap (PTT) di daerah terpencil, dan yang terbaru adalah aturan tentang program internsif dokter indonesia (PIDI) bagi lulusan baru fakultas kedokteran. Program ini berlaku sebagai praregistrasi untuk mendapatkan surat tanda registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang merupakan persyaratan untuk mendapat surat ijin praktek. Dengan adanya program dan aturan yang mengikat ini, diharapkan persebaran dokter dapat lebih merata. Selain itu, masih banyak upaya pemerintah dalam mewujudkan pemerataan layanan kesehatan di negara kita. Namun,..

Saat uang dan penghasilan menjadi faktor utama...
Saat kepedulian dan rasa kemanusiaan seorang dokter mulai pudar...
Saat dokter dalam negeri tidak mau mengabdi untuk negeri kita ini...

Bagaimana nasib bangsa kita yang berada di daerah terpencil?
Siap dan terimakah anda jika DOKTER ASING mengisi tempat anda disana ???

-semoga tulisan ini bisa menggelitik anda dan menjadi masukan bagi kita semua-


Senin, 25 Oktober 2010

Sistem Kesehatan Nasional

"Saat Sistem Kesehatan Dipertanyakan"

Inilah judul blog yang saya ambil untuk mengulas sistem kesehatan yang ada di negara kita, Indonesia. Pada hakikatnya, kesehatan merupakan hak yang diinginkan, dituntut, dan dibutuhkan semua orang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem yang berguna untuk mengatur penyediaan, pengelolaan, dan penggunaaan layanan kesehatan. Dalam hal ini, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan sistem yang digunakan di negara kita dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar tercapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi - tingginya.

Sebelum saya beropini dan mengkritik sistem kesehatan di negara kita, ada baiknya saya mengenalkan sistem kesehatan yang dianut oleh negara kita, yaitu Sistem Kesehatan Nasional (SKN).
Sistem adalah sekumpulan unsur/komponen yang di dalamnya saling bekerja sama dan saling berpengaruh satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini, SKN merupakan suatu sistem besar dengan subsistem - subsistem berupa:
  1. Subsistem upaya kesehatan dengan upaya peningkatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
  2. Subsistem pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.
  3. Subsistem sumber daya manusia kesehatan yang mencukupi dan terdistribusi secara adil dan merata.
  4. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
  5. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan yang meliputi kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum kesehatan, hingga informasi - informasi kesehatan.
  6. Subsistem pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu sistem, terdapat banyak komponen yang menyusun dan mempengaruhinya. Begitu pula pada sistem kesehatan di negara kita, tidak hanya pemerintah dan tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, namun banyak juga hal lain yang terlibat seperti uraian di atas.
(sebelum kita mempertanyakan sistem kesehatan di negara kita ini, ada baiknya kita tanyakan pada diri kita, "Sudahkah saya menjadi warga negara yang aktif dan ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan sistem kesehatan di negara kita?")

Selain komponen - komponen yang telah disebutkan di atas, dalam pelaksanaannya SKN memiliki prinsip - prinsip berupa:
  1. berkesinambungan dan paripurna
  2. bermutu, aman, dan sesuai kebutuhan
  3. adil dan merata untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
  4. non diskriminatif, yaitu dengan tidak membeda - bedakan suku/ras, budaya, dan agama dengan tetap memperhatikan pengarus - utamaan gender
  5. terjangkau oleh seluruh masyarakat.
  6. teknologi tepat guna
  7. bekerja dalam tim secara cepat dan tepat
Jika kita melihat prinsip pelaksanaan SKN ini, bisa dibayangkan seluruh rakyat Indonesia akan mampu menikmati kebutuhan kesehatan yang berkualitas, aman, terjangkau dan merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun pada kenyataanya, kita masih sering mendengar teriakan - teriakan seperti ini:

"orang miskin dilarang sakit?"
"biaya berobat terlalu mahal!"
"kok dokter di Jakarta banyak banget sih?"
"obatnya kok mahal sekali dok?"
"rumah sakit X sangat tidak profesional!!"

Pernahkah anda mendengar kata - kata ini?
Tak jarang masyarakat kita mengkritik dan menganggap sistem kesehatan di negara kita tidak adil, tidak merata, tidak terjangkau oleh masyarakat, kurang berkualitas, dan sebagainya,..
Mengapa bisa terjadi hal seperti ini?
Apa yang salah dengan sistem kesehatan di negara kita?
Dapatkan jawabannya pada tulisan - tulisan saya selanjutnya dalam blog "Saat Sistem Kesehatan Dipertanyakan" ini.

referensi:
  • Sistem Kesehatan Nasional (SKN)