Visitor Statistik

Kamis, 18 November 2010

Mayat Siapakah ini ???

Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta telah menelan banyak korban jiwa. Korban meninggal terutama disebabkan oleh ganasnya awan panas yang dapat merusak paru dan saluran nafas ketika terhirup serta membakar seluruh badan karena tingginya suhu yang mencapai 600 derajat.
Hingga saat ini, tidak sedikit mayat dengan keadaan luka bakar di seluruh tubuh yang telah ditemukan oleh Tim SAR. Mayat ditemukan dalam kondisi mengenaskan dengan luka bakar diseluruh tubuh sehingga sulit dikenali,..
Lantas, Bagaimana kita mengetahui identitas korban jiwa ini?

Dalam keadaan bencana, seperti pada kasus letusan gunung merapi ini, identifikasi mayat korban merupakan suatu proses penting untuk mengetahui siapa saja yang telah menjadi korban sehingga kemudian bisa dikembalikan kepada keluarganya untuk dimakamkan. Disaster Victim Identification atau biasa disebut DVI merupakan suatu prosedur identifikasi yang dilakukan terhadap korban kematian akibat bencana massal ini. Dalam melakukan identifikasi, DVI mengacu pada standar baku International Police Organization (Interpol) yang terdiri dari:
  • Data primer berupa
  1. profil gigi -> bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang. Tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.
  2. sidik jari (fingerprint)
  3. pemeriksaan DNA
  • Data sekunder berupa
  1. visual
  2. fotografi
  3. properti (pakaian, perhiasan, dokumen, dll)
  4. medik - antropologi (pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban)
Pada korban kematian akibat letusan gunung merapi, banyak kesulitan yang dialami, terutama karena penampakan mayat yang sama sekali tidak bisa dikenali secara kasat mata karena wajah dan tubuhnya telah hancur terbakar,..
Dalam keadaan seperti inilah kemudian identifikasi dibutuhkan. Dalam prosesnya, DVI terdiri dari beberapa fase, yaitu:
  1. in the scene of incidents atau biasa disebut tempat kejadian peristiwa (TKP). Dalam fase ini, dilakukan pembatasan area dengan menggunakan police borderline sehingga area TKP tidak rusak serta dapat dilakukan labeling dan dokumentasi untuk kepentingan identifikasi.
  2. collecting post mortem data yang terdiri dari pemeriksaan medik - antropologi, pengambilan foto, pengambilan sidik jari, pemeriksaan rontgen, pemeriksaan odontology forensik, hingga pengambilan sampling untuk pemeriksaan DNA.
  3. collecting ante mortem data yang biasa dilakukan dengan menanyakan pada keluarga ini.
  4. reconciliation -> dalam fase ini, data post mortem dan ante mortem yang telah didapatkan dibandingkan dan dicocokkan. Jika kecocokan semakin banyak, maka identitas korban akan semakin mudah untuk diketahui.
  5. returning to the family -> jika korban telah teridentifikasi, selanjutnya dilakukan rekonstruksi hingga didapatkan kondisi/kosmetik terbaik untuk kemudian dikembalikan pada keluarganya.
Dalam pelaksanaanya, identifikasi bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak kesulitan yang dialami karena buruknya sistem informasi dan pengumpulan data yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, proses reconciliation menjadi sulit dilakukan karena kurangnya data informasi ante mortem korban. Bayangkan saja, untuk mendapatkan data primer saja kita masih kesulitan karena:
  • buruknya pencatatan dan rekam medis, sehingga data - data hasil pemeriksaan gigi tidak tersimpan dan tercatat dengan baik.
  • masih rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemeriksaan gigi berkala, sehingga data ante mortem profil gigi pun sulit didapatkan.
  • hanya masyarakat yang memiliki SIM saja yang tersimpan data sidik jarinya di kepolisian
Merujuk pada pentingnya data primer dalam proses identifikasi, sudah selayaknya pemerintah kita membuat aturan - aturan baru sehingga kedepannya, data - data rekam medis, data pemeriksaan gigi, dan data sidik jari menjadi lebih mudah untuk didapatkan. Kita tidak bisa selalu mengandalkan pemeriksaan DNA karena mahalnya biaya! dan lagi dalam pemeriksaan DNA dibutuhkan adanya kerabat dengan hubungan vertikal (orangtua atau anak).

Minimal, wajar kan jika sidik jari seluruh warga Indonesia terdata dan tercatat sehingga memudahkan proses identifikasi?

atau,..

Bisa juga kan pemerintah mengadakan periksa gigi gratis berkala tiap jangka waktu tertentu, sehingga bukan hanya orang mampu saja yang memiliki data profil gigi,..

referensi:
  • ilmu kedokteran forensik (Amri, 2007)
  • Disaster Victim Identification Guide (International Criminal police Organization)
  • Forensic pathology (Bernard, 1996)
  • Peraturan no 1087/MenKes/SKB/IX/2004
  • Peraturan POL Kep/401/IX/2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar