Semua orang pasti pernah sakit, dan saat sakit kita akan berobat kepada dokter. Setelah berobat, biasanya kita akan mendapat resep obat yang harus ditebus dan diminum demi kesembuhan. Di sinilah kemudian timbul permasalahan,..
"Wah obatnya kok mahal sekali!"
"Wah obatnya kok mahal sekali!"
Saya pribadi pernah memeriksakan diri ke dokter di RS X saat sakit, kemudian saat bermaksud menebus obat, saya terkaget - kaget karena harga obatnya sangat mahal!
Bagaimana saya bisa membeli obat itu? akhirnya saya hanya membeli sebagian sesuai uang yang saya bawa...
Bagaimana saya bisa membeli obat itu? akhirnya saya hanya membeli sebagian sesuai uang yang saya bawa...
Hal seperti di atas sering terjadi, tidak hanya pada saya, namun juga pada masyarakat.
Ya,..
Harga obat terlalu mahal!
Namun,..
Benarkah semua obat itu mahal?
Mengapa harga obat itu mahal?Ya,..
Harga obat terlalu mahal!
Namun,..
Benarkah semua obat itu mahal?
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai harga - harga obat ini, kita perlu mengetahui macam - macam obat yang beredar di Indonesia, yaitu:
- obat paten -> obat paten merupakan obat baru yang ditemukan berdasarkan riset. Berdasarkan Undang - Undang Nomor 14 tahun 2001, obat paten memiliki masa paten selama 20 tahun. Perusahaan farmasi pemilik hak paten memiliki hak eksklusif untuk memproduksi obat ini dimana perusahaan lain tidak diperkenankan memproduksi dan memasarkan obat yang sama kecuali atas ijin pemilik hak paten. Obat ini jelas tidak ada versi obat generiknya.
- obat generik -> obat generik merupakan obat paten yang telah habis masa paten nya, sehingga perusahaan farmasi lain bebas memproduksi dan memasarkan obat ini.
- obat bermerek -> obat bermerek merupakan obat yang diproduksi dan dijual oleh perusahaan farmasi tertentu. Obat ini tidak berbeda dengan obat generik, namun kemudian dijual dengan harga yang lebih mahal.
Perlu kita ketahui, obat paten merupakan obat baru yang membutuhkan proses penemuan dan pengembangan yang sangat lama dan menyedot biaya. Tahapan dalam pembuatan obat ini mencakup:
- proses penemuan obat berupa sintesis dan skrining
- uji preklinik
- uji klinik
- permohonan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
- pemasaran
Untuk poin 5, yaitu pemasaran menjadi hal yang sangat penting dan fundamental bagi obat paten dan obat bermerek untuk meningkatkan penjualannya. Berbeda dengan obat generik yang murah dan lebih terjangkau masyarakat sehingga menjadi pilihan DepKes untuk menyuplai kebutuhan obat di puskesmas dan rumah sakit, obat paten dan obat bermerek butuh usaha yang gencar untuk mempromosikan obatnya agar dipakai oleh dokter - dokter. Ada berbagai cara yang dilakukan untuk meningkatkan pemasaran ini, seperti dengan:
- memberi imbalan bagi dokter yang meresepkan obat
- menjadi sponsor kegiatan seminar, workshop, dll
Pada akhirnya, mahalnya harga obat paten dan obat bermerek ini dikarenakan biaya promosi yang dilakukan pihak farmasi yang bahkan bisa mencapai 80% dari harga obat. Sebagai contoh, satu butir obat bermerek yang berharga 1000 rupiah, sebenarnya harga produksinya hanya 200 rupiah dengan 800 rupiah sisanya merupakan biaya promosi yang dibebankan pada pembeli obat.
Setelah kita mengetahui semua ini, tentu kita akan berpikir "mengapa dokter tidak meresepkan obat generik saja".
Perlu diingat bahwa tidak semua jenis obat ada versi generiknya. Obat paten yang masih diproduksi oleh satu perusahaan farmasi saja tentu tidak akan ada versi generiknya. Yang menjadi pertanyaan adalah saat dokter meresepkan obat bermerek dengan harga yang mahal dibandingkan obat generiknya yang jelas jauh lebih murah. Apa motif si dokter?
Si dokter tidak tahu ada obat generik?
Obat mahal dan bermerek dianggap lebih manjur?
atau,..
Demi keuntungan pribadi si dokter?
Perlu diingat bahwa tidak semua jenis obat ada versi generiknya. Obat paten yang masih diproduksi oleh satu perusahaan farmasi saja tentu tidak akan ada versi generiknya. Yang menjadi pertanyaan adalah saat dokter meresepkan obat bermerek dengan harga yang mahal dibandingkan obat generiknya yang jelas jauh lebih murah. Apa motif si dokter?
Si dokter tidak tahu ada obat generik?
Obat mahal dan bermerek dianggap lebih manjur?
atau,..
Demi keuntungan pribadi si dokter?
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), disebutkan bahwa "Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi". Beberapa perbuatan yang dipandang bertentangan dengan kode etik ini adalah:
- menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.
- membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi, perusahaan alat kesehatan, atau badan lain yang mempengaruhi pekerjaan dokter.
- melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat, atau bahan lain guna keuntungan pribadi dokter.
Lantas, bagaimana dengan dokter yang meresepkan obat mahal? apakah dokter itu salah? Kita tentu tidak bisa menilai dokter itu begitu saja. Kita perlu mengetahui alasan dan pertimbangan si dokter. INGAT! meresepkan obat mahal bukanlah suatu hal yang salah. Namun, dalam meresepkan obat perlu berbagai pertimbangan. Menurut saya pribadi, obat mahal atau murah adalah hak pasien untuk memilih. Kita tidak berhak menghilangkan autonomy pasien untuk memilih obat yang lebih murah, namun kita juga tidak berhak menghilangkan hak pasien untuk memilih obat yang lebih mahal.
Tidak selamanya murah itu baik, dan tidak selamanya pula mahal itu bagus,..
Biarkan pasien memilih, tugas dokter lah untuk memfasilitasi.
Kita boleh meresepkan obat mahal jika itu kehendak pasien,..
Kita boleh menerima imbalan dari pihak farmasi selama itu tidak mempengaruhi kebebasan dan kemandirian kita dalam meresepkan obat,..
Jadi,..
Semua itu tergantung niat si dokter,..
Tidak selamanya murah itu baik, dan tidak selamanya pula mahal itu bagus,..
Biarkan pasien memilih, tugas dokter lah untuk memfasilitasi.
Kita boleh meresepkan obat mahal jika itu kehendak pasien,..
Kita boleh menerima imbalan dari pihak farmasi selama itu tidak mempengaruhi kebebasan dan kemandirian kita dalam meresepkan obat,..
Jadi,..
Semua itu tergantung niat si dokter,..
Mau jadi dokter seperti apakah kita???
referensi:
- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
- Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
- Peraturan Undang - Undang Nomor 14 tahun 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar